Dari Es Roti ke Kayu Jati, Kisah Ali Munasrin Menjemput Kesuksesan dengan Kejujuran

Berita, Kolom25 Dilihat

Fokuspers.com- Di balik tumpukan kayu jati yang tersusun rapi, tersimpan kisah hidup seorang pria sederhana yang menjadikan kejujuran sebagai fondasi usahanya. Ali Munasrin, sosok bersahaja yang dikenal ramah dan humoris ini, bukan hanya pedagang kayu biasa. Ia adalah pengusaha yang menjadikan kerja keras, strategi hidup, dan keimanan sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Dari gelondongan kayu yang ia angkut dari Wonogiri hingga doa-doa yang ia lantunkan dalam sunyi malam, semuanya adalah bagian dari perjalanan menuju kesuksesan. Kesuksesan yang ia capai hari ini bukan hasil instan, melainkan buah dari perjalanan panjang yang ditempa oleh kerja keras, keuletan, dan kesabaran menghadapi berbagai rintangan hidup

Di luar kesibukan bisnis, Ali memiliki kecintaan pada permainan catur. Bagi dirinya, catur bukan sekadar hiburan, melainkan latihan berpikir strategis dan mengambil keputusan dengan matang  yang juga ia terapkan dalam dunia usaha. Di usia yang kian menua , ia semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tahajud, duha, dan membaca surat Al-Waqi’ah menjadi bagian dari ikhtiar batinnya untuk menjaga kelancaran usaha. Ia percaya, kerja lahiriah harus disertai dengan doa dan ikhtiar spiritual.

Tak hanya fokus pada kesuksesan pribadi, Ali juga aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Melalui program Jumat Berkah, santunan kepada fakir miskin, serta keikutsertaannya dalam majelis taklim, ia terus menebar manfaat. Bagi Ali, dunia dan akhirat harus berjalan selaras..

Ali Munasrin lahir pada 17 September 1953 dari keluarga petani sederhana. Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara dan menempuh pendidikan dasar di SD 03 Lebuawu, kemudian melanjutkan ke SMP Badan Wakaf yang kini dikenal sebagai SMP Sultan Agung 2 Kalinyamatan. Sejak muda, Ali telah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Setelah lulus SMP, ia tak melanjutkan sekolah karena kondisi ekonomi keluarga. Namun, keterbatasan itu tak membuatnya menyerah. Ia memegang prinsip bahwa selama pekerjaan itu halal, ia tidak akan malu menjalaninya. Dua tahun setelah lulus, ia menikah dengan Sulastri, gadis pilihannya, meskipun saat itu ia belum memiliki pekerjaan tetap.

Untuk menghidupi keluarganya, Ali memulai langkah kecil dengan berjualan es roti keliling dari satu kampung ke kampung lain. Meski tampak sederhana, pengalaman ini mengajarkannya tentang kerja keras, konsistensi, dan pentingnya menjaga hubungan baik dengan orang-orang. Inilah awal mula terbentuknya karakter  yang pantang menyerah dalam diri Ali. Ketekunan dan kegigihannya di masa-masa sulit menjadi pondasi kuat yang kelak membentuk keberhasilannya di dunia usaha

Setahun setelah menikah, Ali Munasrin dikaruniai anak pertama bernama Sulistyowati, disusul anak kedua  bernama Agus Salim dua tahun kemudian. Tanggung jawab sebagai kepala keluarga semakin besar, sementara penghasilan dari berjualan es roti keliling mulai terasa tidak mencukupi. Pada tahun 1975, dengan tekad kuat dan keberanian, ia memutuskan merantau ke Flores, Nusa Tenggara Timur, untuk mencoba peruntungan baru dengan berjualan kacamata. Ia membeli kacamata dari Pasar Turi, Surabaya, seharga Rp10.000 per buah dan menjualnya kembali di Flores seharga Rp300.000. Keuntungan yang besar dari selisih harga tersebut cukup untuk mencukupi kebutuhannya selama di Flores dan juga mengirim nafkah bagi istri dan anak-anaknya yang tinggal di Jawa. Usaha ini ia jalani hingga kelahiran anak ketiganya.

Meski bisnisnya cukup menguntungkan, hati kecil Ali tak tenang melihat istrinya harus merawat ketiga anak mereka seorang diri. Dengan pertimbangan keluarga dan keinginan untuk membangun usaha di tanah kelahiran, ia memutuskan kembali ke Jawa pada tahun 1988. Bersama sang istri, ia membuka sebuah warung makan yang diberi nama Warung Sop Bu Lastri. Berbekal kepiawaian istrinya dalam memasak, warung tersebut berkembang pesat dan selalu ramai pembeli, terutama karena letaknya yang strategis di pinggir jalan raya dan dekat kantor pemerintahan. Menu andalannya seperti sop daging, sop udang, dan sop buntut menjadi favorit banyak orang. Dalam sehari, mereka bisa menghabiskan hingga 10 kg nasi. Angka yang menunjukkan betapa larisnya warung itu. Dari hasil berjualan sop selama delapan tahun, Ali dan istrinya berhasil mengumpulkan cukup uang untuk menunaikan ibadah haji.

Sepulang dari tanah suci, kondisi warung tak lagi seramai dulu. Lama ditinggal haji membuat pelanggan mulai berpindah, dan penjualan pun menurun drastis. Dari 10 kg nasi menjadi hanya 3 kg, itu pun tak selalu habis. Melihat kenyataan itu, Ali tidak larut dalam kesedihan. Ia kembali memutar otak dan mencoba peruntungan baru dengan berjualan kacang tanah. Ia membeli kacang dari wilayah Wonogiri dan memasoknya ke pabrik-pabrik besar seperti Dua Kelinci dan Kacang Garuda. Usaha ini dijalani dengan tekun dan menjadi pijakan penting sebelum akhirnya ia menemukan peluang emas yang mengubah hidupnya secara signifikan.

Pertemuan dengan seorang petani kayu bernama Bambang menjadi titik balik. Dari Bambang, ia mendapat saran untuk mencoba bisnis kayu jati gelondongan dari Wonogiri dan menjualnya kembali ke Jepara  yang dikenal sebagai sentra mebel nasional. Pada tahun 1999, ia mulai menjalani usaha ini. Bertepatan dengan masa pasca krisis moneter 1998, ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar melonjak tinggi, permintaan ekspor mebel meningkat tajam. Situasi ini menjadi berkah tersendiri bagi Ali, karena kebutuhan bahan baku mebel seperti kayu jati melonjak tajam. Ia pun kebanjiran order dan mampu menjual hingga 5–10 truk kayu per hari.

Dalam dunia usaha yang penuh tantangan, Ali membangun kepercayaan pelanggan dengan mengutamakan kualitas, kejujuran dalam kubikasi, serta kemudahan transaksi bagi mereka yang belum mampu membayar tunai.

Bisnis kayu jati log milik Ali berkembang pesat. Ia tidak hanya memasok ke pengrajin lokal yang membuat mebel atau gebyok, tetapi juga menjadi mitra bagi perusahaan-perusahaan besar di industri furnitur. Keuletan dan ketekunan yang telah ia pupuk sejak muda kini membuahkan hasil besar. Keberhasilannya bukan datang secara instan, melainkan melalui proses panjang, pengorbanan, dan adaptasi terus-menerus terhadap tantangan hidup. Dari seorang penjual es roti keliling hingga menjadi pengusaha sukses kayu jati, kisah Ali Munasrin adalah bukti nyata bahwa kerja keras, doa, dan ketulusan hati mampu mengubah nasib seseorang secara luar biasa.

Di usianya yang telah menginjak 72 tahun, Ali Munasrin masih tetap aktif menjalani usaha kayu jati log yang telah membesarkan namanya. Meski usia tak lagi muda, semangatnya tak pernah surut. Berbagai hambatan terus ia hadapi,mulai dari pengrajin yang menunggak pembayaran hingga persaingan bisnis yang semakin ketat. Namun, dengan kejujuran, kesabaran, serta prinsip pantang menyerah yang selalu ia pegang teguh, Ali tetap yakin bahwa usahanya akan terus bertahan dan berkembang.

Kini, tongkat estafet usahanya telah mulai diwariskan kepada anak ketiganya, A Zainuri Basri yang mengikuti jejak langkah sang ayah dengan penuh tanggung jawab. Tak hanya mewariskan bisnis, Ali juga menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak cucunya: pentingnya perjuangan, keikhlasan, dan keteguhan hati. Prinsip hidupnya , berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Spirit ini yang diwariskan menjadi warisan moral yang tak ternilai. Dari kisah hidupnya, kita belajar bahwa kesuksesan sejati bukan hanya tentang pencapaian materi, tetapi tentang ketekunan, iman, dan niat tulus dalam setiap langkah kehidupan.