Fokuspers.com- Reformasi menjadi jawaban atas berbagai problematika 27 tahun lalu yang terjadi pada masa orde baru dibawah kepemimpinan rezim Soeharto. Cita-cita reformasi yaitu supremasi demokrasi, hal ini sudah berjalan sesuai dengan koridornya setelah jatuhnya rezim Soeharto, dimana estafet kepemimpinan mengalami beberapa pergantian dari B.J Habibie, abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi, dan Prabowo. Meskipun beberapa tahun dalam perjalanannya timbul gejolak.
Sejak dilantiknya Prabowo menjadi Presiden bulan Oktober tahun lalu yang berarti hampir 5 bulan dibawah kepemimpinannya, rakyat Indonesia hampir selalu dikejutkan dengan dinamika-dinamika dari elite politik tidak ada habisnya. Dari kabinet gemuk pemerintahan Prabowo-Gibran, Gas LPG langka, Kenaikan PPN 12 persen, Efisiensi APBN besar-besaran, Polemik Danantara, Kasus korupsi Pertamina,Kasus korupsi Antam,Kasus korupsi Minyakita,Kasus korupsi PLN,Kasus korupsi LPEI,Kasus korupsi Bank BJB, Pembredelan dan pembungkaman karya seni, dan sekarang Revisi Undang-undang TNI.
Revisi Undang-undang TNI No.34 Tahun 2004 dilakukan pemerintah dengan menempatkan militer dalam ranah sipil, hal tersebut menuai kritik besar-besaran dari koalisi masyarakat sipil yang dinilai menempatkan militer dalam urusan sipil dapat melemahkan demokrasi dan supremasi sipil.
Orde baru menjadi saksi kelam dari penyimpangan Dwi fungsi ABRI yang mendominasi segala aspek pemerintahan. Bagaimana kekuasaan yang di backing militer sangat berbahaya. Kejahatan-kejahatan militer yang terjadi pada masa orde baru sampai saat ini belum mendapatkan hukuman, penculikan dan pembunuhan pada masa itu menjadi pemandangan biasa, dimana pengkondisian dengan cara represif merupakan ciri khas militer yang membahayakan masyarakat sipil.
Pasca Revisi UU TNI No.34 Tahun 20024 disahkan melalui sidang paripurna DPR RI tanggal 20 Maret 2025, gelombang penolakan membludak untuk menolak Revisi tersebut. Massa aksi demonstrasi pecah di berbagai wilayah dan lagi-lagi pengkondisian oleh aparat masih dilakukan dengan cara represif.
Perubahan atas Undang-undang TNI No. 34 Tahun 2004 diantaranya, Perubahan Pasal 7 tentang Tugas TNI dengan menambahkan dua tugas tambahan, yakni Membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber dan Membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Perubahan Pasal 47 tentang Kementerian/Lembaga yang Bisa Dimasuki TNI, memperbolehkan TNI menempati total 14 kementrian atau lembaga. Serta Perubahan Pasal 53 tentang Usia Pensiun TNI.
Revisi UU TNI yang telah disepakati DPR tersebut mengandung ketentuan yang membuka peluang penggembosan demokrasi digital dan pelanggaran hak-hak digital, seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, dan hak atas informasi. SAFEnet menyoroti salah satu poin pembahasan RUU TNI, yaitu mengenai perluasan kewenangan TNI di ruang digital, yang dilihat sebagai bentuk militerisasi ruang siber. Narasi ancaman ‘perang siber’ juga berpotensi untuk dijadikan kambing hitam untuk membungkam wacana-wacana kritis dan meningkatkan kontrol negara atas sirkulasi informasi publik di ruang digital.
Selain itu, Revisi UU TNI yang membuka peluang militer untuk kembali aktif dalam jabatan sipil harus dilakukan mekanisme pengawasan dan peradilan terhadap aparat TNI harus diperjelas. Pelanggaran-pelanggaran aparat yang dilakukan diranah sipil harus disesuaikan dengan peradilan umum, sehingga keterbukaan dan keadilan hukum dapat berjalan baik, tidak hanya dilakukan dengan peradilan militer saja.
Perlawanan semakin lantang, bukan untuk hari ini, tapi untuk masa yang akan datang.