Jejak KH. Ahmad Jauhari, Sang Guru Tafsir dan Tasawuf

Kolom202 Dilihat
banner 468x60

Fokuspers.comAhmad Jauhari (Mbah Johar) dilahirkan di Desa Mutih kulon, kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Pada hari Ahad Pahing, 11 Jumadil Ula 1363 H/30 April 1944 M, Beliau adalah putra ke tiga dari delapan bersaudara dari pasangan suami istri bapak H. Fauzan dan ibu Hj. Fatimah (Ibu Masrumi). Beliau dibesarkan di desa Mutih Kulon, Desa yang bergeografis sawah, dan terkenal dengan desa yang menjujung tinggi nilai nilai agama Islam.

Pada usia anak-anak beliau menuntut ilmu di desanya. Beliau berguru kepada KH. Sanusi (ayah dari KH. Ali Murtadlo), KH. Labib dan KH. Mas’udi. dengan kecerdasan dan ketekunannya beliau mampu menghafal nadhom Maqshud (ilmu shorof) dan nadhom-nadhom lainnya.

banner 336x280

Setelah belajar di desanya, ketika beliau berkisar umur 12 tahun (1956 M) beliau mondok untuk pertama kalinya yaitu di PP. Roudlotuttholibin Rembang, yang diasuh oleh KH. Bisyri Mustofa, seorang alim terkemuka pada masanya, ahli dakwah / muballigh yang masyhur dan penulis yang produktif. Banyak sekali tulisan dan karya KH. Bisyri Mustofa, diantaranya yang terkenal adalah Al Ibriz (terjemah tafsir Al Qur’an) dan terjemah Alfiyyah Ibn Malik (dalam ilmu nahwu). disamping belajar berbagai bidang ilmu syariat (agama), beliau juga belajar metode dakwah dan ilmu kemasyarakatan.

Adapun fan ilmu yang diprioritaskan di PP. Roudlotuttholibin Rembang adalah ilmu alat (nahwu) yaitu Alfiyyah Ibn Malik, dan tafsir Al Qur’an Alkarim, dalam waktu yang terbilang singkat dengan pertolongan Allah ta’ala beliau bisa menguasai ilmu-ilmu tersebut.

Setelah kurang lebih tiga tahun di Rembang, beliau menambah wawasan keilmuannya dan tabarrukan dengan  melanjutkan nyantri di PP. Sarang Rembang, Ponpes yang terkenal dengan ilmu alat dan fiqihnya, di bawah asuhan Mbah Ber (panggilan akrab KH. Zubair Dahlan, ayahanda KH. Maimun Zubair / Mbah Mun). Disamping itu beliau juga menyempatkan ngaji kepada KH. Ahmad Syu’aib (mertua Mbah Ber) dan KH. Maimun Zubair (waktu itu masih dipanggil Gus).

Saat di pesantren tersebut beliau banyak belajar ilmu alat (nahwu) dan fiqih. Bukan rahasia lagi bahwa figur KH. Zubair Dahlan merupakan pakar ilmu fiqih pada zamannya. Oleh karenanya, didalam masalah fiqhiyyah beliau – KH. Ahmad Jauhari – banyak terilhami oleh pemikiran-pemikiran Mbah Ber.

Setelah beberapa tahun di Sarang, rasanya tak puas jika beliau hanya mempunyai satu atau dua orang guru saja dan pada tempat yang sama. Maka beliau meneruskan nyantrinya di PP. Pondowan Tayu Pati, tepatnya di pesantrennya KH. Muhammadun, seorang kyai yang terkenal ahli fiqih dan tashawwuf pada zamannya. Oleh karena itu, dalam hal tashawwuf beliau – KH. Ahmad Jauhari – banyak merujuk pada pemikiran Mbah Madun (panggilan akrab KH. Muhammadun Pondowan).

Beliau tak henti-hentinya dalam menuntut ilmu meskipun dalam keadaan ekonomi yang sulit. Dalam keadaan ekonomi yang sulit, beliau menuntut ilmu di pesantren Kyai Zaenal Pekalongan. Untuk menutup kebutuhan hidup di pesantren, beliau belajar membatik dan bekerja di perusahaan batik yang hasilnya untuk memenuhi kebutuhan ngaji di pesantren tersebut. Tidak berapa lama beliau belajar di Pekalongan dengan nyambi kerja, beliau bertemu dengan guru beliau KH. Bisyri Mushthofa pada saat KH. Bisyri mengisi pengajian di Pekalongan. Pada saat itu pula beliau diajak oleh KH. Bisyri untuk kembali nyantri di Rembang, disana beliau banyak belajar khidmah pada Mbah Bisyri (panggilan akrab KH. Bisyri Musthofa). Beliau dekat dengan keluarga Mbah Bisyri terlebih dengan Gus Mus (panggilan akrab KH. Musthofa Bisyri, putra Mbah Bisyri), teman mukholithnya waktu nyantri di Rembang. Bahkan karena kedekatan beliau dengan keluarga Mbah Bisyri hingga beliau nyaris dijodohkan dengan keluarganya.

Setelah beberapa tahun di Rembang dan dirasa cukup, beliau lalu meneruskan cita-citanya dengan tabarrukan mengaji kepada KH. Abu Fadlol Senori Tuban, seorang kyai yang terkenal alim dan cerdas dan mampu menghafal Al Qur’an pada umur sekitar 9 tahun serta menguasai ilmu-ilmu yang lain. Hal ini wajar bagi beliau – KH. Abu Fadhol – karena kyai tersebut hafal apa saja yang didengar dari ayahandanya, yaitu KH. Junaid.

Mbah Dhol (panggilan akrab KH. Abu Fadhol Senori) termasuk penulis yang produktif. Diantara karya-karya beliau yang terkenal adalah Al-Kawaakibullammaa’ah (tentang akidah ahlussunnah waljama’ah), Syarh Al-Kawaakibillammaa’ah, Addurrulfariid syarh ‘alaa Jauharotittauhiid, Tashiilulmasaalik syarh ‘alaa Alfiyyah Ibn Malik, dan masih banyak lagi. Kepada Mbah Dhol, beliau – KH. Ahmad Jauhari – banyak belajar kitab-kitab besar, khususnya yang berkaitan dengan fiqih dan tashawwuf.

Setelah dirasa cukup mempelajari berbagai ilmu agama kepada para ulama’, rasanya belum sempurna apabila belum menghafal al-Qur’an Alkarim. Maka kemudian beliau meneruskan ngajinya pada KH. Arwani Kudus. Kepada Mbah Arwani beliau mengaji dan menghafal al-Qur’an dan menjadi santri istimewa, yaitu ketika pada umumnya para santri hanya bisa menyetorkan hafalan sebanyak satu halaman, maka beliau diberi kesempatan untuk menyetorkan hafalan tanpa dibatasi jumlahnya.

Perlakuan istimewa Mbah Arwani pada beliau membuat beliau dekat dengan kyai, sehingga pada pernikahannya yang pertama beliau dinikahkan oleh Mbah Arwani di dalemnya, tepatnya pada tahun 1969 M dengan seorang gadis bernama Siti Qudsiyyah putri pertama dari pasangan suami istri bapak H. Abbas Manshur (bapak Marwan) dan ibu Hj. Ummi Kultsum dari desa Potroyudan Jepara, namun pernikahan tersebut tidak bertahan lama dan tidak membuahkan keturunan, karena sang istri pada bulan Desember tahun 1970 M. pulang ke rahmatulloh. Sejak beliau menyunting Ibu Qudsiyyah, beliau mulai berkiprah di masyarakat Jepara dan Mutih Kulon, khususnya di organisasi NU Jepara. Beliau diajak oleh KH. Fauzan dan KH. Rosyid untuk ikut membesarkan NU di Jepara dan beliau dipercaya memegang amanah sebagai katib Syuriyah NU Jepara.

Sepeninggal istrinya, beliau tetap berkiprah di masyarakat baik di Jepara maupun di Mutih Demak, beliau lebih memfokuskan melancarkan hafalan Al Qur’an di Kudus pada Mbah Arwani, tepatnya di PP. Yanbu’ul Qur’an, hingga beliau – KH. Ahmad Jauhari – melaksanakan pernikahannya yang kedua dengan seorang gadis yang bernama Siti Farida, putri terakhir bapak H. Abbas Manshur, yang tiada lain adalah adik almarhumah istri yang pertama. Pernikahan ini direstui oleh Mbah Arwani dan Mbah Hamid Pasuruan dan berlangsung pada tahun 1972 M. Dengan istri yang kedua ini, yaitu ibu Siti Farida, beliau dikaruniai enam orang anak yang hidup, yaitu: Mundziri, Amalia Hidayah, Laila Maghfiroh, Muhammad Maimun, Abdurrohman dan Afro’ Tsuroyya.

Setelah kelahiran anak yang pertama, tepatnya pada tahun 1975 M. beliau berangkat ke Makkah Almukarromah untuk menambah wawasan keilmuannya. Selama tujuh bulan di Makkah Al-mukarromah, beliau memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu pada para ulama’ besar khususnya pada Syaikh Yasin Alfadani. Dan pada awal pernikahan beliau yang kedua sebelum berangkat ke Makkah Almukarromah, beliau masih berusaha menyisihkan waktunya untuk mengikuti ngaji khataman, diantaranya ngaji khataman kepada Mbah Dalhar Watucongol Magelang dan Mbah Mushlih Mranggen Demak.

Setelah kelahiran anak yang kedua dan setelah bertawassul di Batuampar Madura, tepatnya pada awal tahun 1977 M, beliau berangkat lagi ke Makkah Almukarromah yang kedua kalinya untuk menambah wawasan keilmuan dan memperluas cakrawala berfikir dan berdzikir. Beliau aktif belajar kepada para ulama’ terkemuka di kota Makkah Almukarromah, khususnya kepada Al’arif billah Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Almaliki Alhasani, seorang pakar ilmu hadits, pejuang faham ahlussunnah waljama’ah dan seorang waliyyulloh.

Beliau KH. Ahmad Jauhari mengaji dan berkhidmah kepada Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Almaliki Alhasani, dan beliau termasuk santri yang dekat dengan Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Almaliki Alhasani. Karena kedekatannya, beliau bersama beberapa temannya diperbolehkan untuk tinggal di kholwat (tempat khusus untuk beribadah) Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Almaliki Alhasani yang berada di bagian bawah Masjidilharom. Beliau dan teman-temannya tinggal di kholwat tersebut untuk belajar dan berkhidmah, dan sekaligus mereka di didik untuk mendekatkan diri kepada Alloh ta’ala.

Hal itu berlangsung sampai akhirnya terjadi peristiwa perebutan Masjidil harom yang dilancarkan oleh Juhaiman dan kawan-kawan pada tahun 1979 M. yang berakibat pada penutupan kholwat-kholwat yang berada di Masjidilharom oleh pemerintah Saudi Arabia. Oleh karena itu, beliau dan teman-temannya pindah ke kediaman Abuya Almaliki di kawasan Al’Utaibiyyah yang jaraknya sekitar 2 km dari Masjidilharom. Setelah beberapa bulan beliau tinggal di kediaman Abuya, maka pada akhir tahun 1979 M. beliau diizinkan untuk pulang ke tanah air bersama-sama santri-santri Abuya lulusan pertama dengan diantar langsung oleh Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Almaliki Alhasani sampai ke Indonesia.

Pada tahun 1982 M. berdirilah sebuah pesantren yang didirikan oleh beliau KH. Ahmad Jauhari, atas perintah gurunya, yaitu Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Almaliki Alhasani yang diberi nama Pondok Pesantren “Daruttauhid Al’Alawiyyah” . Nama ponpes tersebut memiliki filosofi tersendiri, Daruttauhid adalah nama lain dari kota tempat tinggal Rosululloh SAW, yaitu kota Almadinah Almunawwaroh, sedangkan Al’ Alawiyyah adalah nisbat kepada Sayyid Alawi ayahanda Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Almaliki Alhasani.

Karakteristik pengajaran beliau baik di pesantren atau di mayarakat, beliau sering menggunakan metode Mbah Bisyri yaitu materi berbobot tapi penuh dengan humor.

Sebenarnya KH. Ahmad Jauhari setelah pulang dari Makkah Almukarromah tidak langsung mendirikan pesantren, beliau menyebarkan ilmunya dari musholla ke musholla dan aktif di ormas NU Jepara. Seiring berjalanya waktu beliau mendirikan pesantren atas perintah gurunya Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Almaliki Alhasani, dan mendapatkan dukungan dari Masyarakat.

Allah memanggil simbah KH. Ahmad Jauhari untuk menghadap dan menerima rohmat maghfiroh-Nya, tepatnya pada tanggal 4 Jumadil Akhir 1420 H/14 September 1999 M. Pada pukul 14.45 WIB, beliau dimakamkan dipemakaman Nggandrung Jepara.

 

(Maulana Izza)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *