Walau ujian nasional tidak menjadi penentu kelulusan, akan tetapi peserta didik dalam merayakan kelulusan sebagai ungkapan syukur masih mengikuti tren lama, ada yang meluapkan dengan coret, coret baju, konvoi, ada juga pesta miras.
Kenyataan itu semestinya tidak harus terjadi di dunia pendidikan. karena rasa syukur tidak harus dilakukan dengan kegembiraan yang berlebihan, apalagi dilakukan dengan hal-hal yang negatif.
Hal yang demikian memang terus, menerus dilakukan oleh para pelajar, seakan menjadi tradisi dan budaya yang kurang baik.
Seharusnya peserta didik yang lulus harus bersyukur dengan ungkapan yang positif seperti menggelar doa bersama, berbagi kepada anak yatim, membuat kegiatan bakti sosial, dan atau sujud syukur.
Perilaku yang berlebihan memaknai kelulusan ini, kemudian para siswa belum mampu menyongsong masa depan, bahwa masih panjang perjalanan untuk terus menempuh pendidikan yang lebih tinggi, mendalami keilmuan yang masih dangkal. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa hal ini terjadi di dunia pendidikan formal?
Kalau kita lihat tradisi di Pondok Pesantren misalnya, ketika santri dinyatakan lulus, tidak ada budaya corat-coret maupun konvoi merayakan kelulusan itu. Tetapi di pesantren malah menundukkan kepala, karena beban berat berada di pundak para santri untuk melanjutkan estafet perjuangan para kiainya yang telah mengajarkan agama kepadanya. Para santri memiliki amanah untuk mengamalkan keilmuannya itu kepada masyarakat.
Kalau kita perhatikan tidak ada yang berbeda pendidikan di pesantren dan di sekolah formal. Akan tetapi praktik di lapangan memang beda. Dijelaskan (A. Mukti Ali, 2017) pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar para santri (anak didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut.
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan berbahasa Arab.
Tidak ada salahnya kalau konsep pendidikan karakter yang diterapkan di pesantren diterapkan di pendidikan formal. Hal yang paling sederhana adalah bagaimana melatih sholat tepat waktu dan jama’ah bersama. Mencium tangan ibu, bapak guru ketika ketemu, serta diprogramkan mengaji Al Qur’an. Gerakan cinta membaca Al Qur’an dan gerakan cinta agama.
Untuk memaknai rasa syukur dilakukan dengan hal yang negatif, tentu akan berdampak negatif, tetapi kalau memaknai kelulusan dengan positif, tentu nilai positif yang memberikan dorongan pada pelajar untuk berpacu prestasi dan berpacu untuk meningkatkan keilmuannya yang lebih tinggi.
Sebagai penulis, tentu prihatin dengan kondisi generasi penerus yang tidak menghargai dirinya untuk kemudian nanti akan menjadi pemimpin bangsa. Kalau awalnya sudah dimulai dengan budaya dan tradisi yang salah. Tentu generasi ini menjadi generasi yang rapuh. Tidak bisa menjadi generasi yang kuat dan tangguh untuk melawan segala bentuk kejahatan yang menghancurkan tanah kelahiran kita yaitu Indonesia raya.
Untuk menghasilkan generasi yang baik, tentu pendidikan agama menjadi penting untuk diajarkan secara menyeluruh tidak sepotong-sepotong, sehingga melahirkan generasi muda yang cendekia dan berakhlakul karimah.