Bukan suatu rahasia lagi, jika hajatan demokrasi lima tahunan sekali ini masih menempatkan finasial sebagai faktor dominan menentukan terpilihnya suatu pasangan kandidat. Efeknya, kapasitas dan kapabilitas pasangan calon pun dikesampingkan. Visi, misi, dan program yang seharusnya menjadi kekuatan utama, justru terkapar dalam pusaran kekuatan uang dalam melakukan kampanye.
Praktik semacam ini sebetulnya sudah tumbuh sejak pemilu pertama Indonesia tahun 1955. Kala itu, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan salah satu partai tertua di Indonesia, membagikan sejumlah uang kepada tokoh-tokoh pada tingkat lokal agar bisa memenangkan pemilu.
Meski sempat mengalami pasang surut, praktek ini tak pernah bosan menyambangi masyarakat. Alih-alih Undang-undang nomor 10 tahun 2016 pasal 187A pun seakan tak mampu menghalangi kutukan money politik.
Bisa dipahami, praktik memberi uang bukan lagi dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Hal semacam ini bahkan yang terkesan lazim tiap Pemilu tiba bagi masyarakat di desa-desa. Mereka bahkan tak sungkan meminta pada para kader pemenangan di daerah, jika ingin dipilih minimal berilah uang operasional agar mereka semangat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Namun disadari atau tidak hari ini, praktek money politik tidak lagi melulu pada uang semata. Pemenuhan berbagai kebutuhan pokok seperti sembako, dan alat-alat kebutuhan rumah tangga juga menjadi segmentasi baru elite politik dalam membeli suara masyarakat.
Jika siklus money politik dalam setiap sistem pemilihan demokrasi masih diartikan suatu usaha politisi untuk merebut kepercayaan masyarakat, mempertahankan hak kekuasaan dengan membeli suara demi tercapainya kemenangan politik, maka pada akhirnya Pemilu hanyalah sebatas konsep yang berjalan sebagai urusan prosedural dan bagi-bagi kursi rejeki.
Politik semacam ini hanya menjadikan Pemilu sebagai konsepsi berulang dimana masyarakat sebagai objek penguasaan semata. Yang ada bukan pembaharuan berkemajuan, melainkan melanggengkan para politisi menempati kursi kekuasaan, persis sebagai tujuan utamanya. Mau tidak mau, politik semacam ini akan membawa masyarakat kita pada stagnasi dan makin tergerusnya kualitas kehidupan sosial.
Banyak faktor mengapa praktek ini masih beroprasi sampai hari ini. Mulai dari, gagalnya pendidikan politik di masyarakat kita, regulasi, hukum, masyarakat miskin, kebudayaan permisif dsb. Fransiska Adelina (2019) menyatakan bahwa salah satu faktor atau potensi dari praktik korupsi politik adalah politik uang, yang digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui transaksi jual beli. Bumke (2014) juga mencatat bahwa tidak ada definisi yang konsisten mengenai politik uang, dan istilah tersebut merangkum berbagai praktik seperti korupsi politik, klientelisme, dan pembelian suara. Politik uang dianggap sebagai penyebab utama korupsi politik, menjadi perhatian utama di Indonesia (Aspinall & Sukmajati, 2015).
Politik uang menjadi pendorong utama dalam menciptakan pemimpin yang cenderung memprioritaskan kepentingan pribadi dan kelompok. Hal ini juga menyebabkan biaya politik dalam proses pemilihan menjadi tinggi. Dalam konteks ini, ketika seorang kandidat terpilih melalui praktik suap menyuap, fokusnya cenderung pada pengembalian modal yang telah diinvestasikan daripada melayani kepentingan rakyat.
Integrasi Peran Penting Terwujudnya Pemilu Sehat
Untuk memutus rantai itu, menuju pemilu yang ideal seperti yang kita idam-idamkan tak cukup dari perbaikan aspek politik semata. Pemilu yang ideal dapat terwujud melalui integrasi bangsa, serta memerlukan tanggung jawab bersama dari masyarakat, lembaga, dan media.
Ketiga elemen ini, memiliki peran penting dalam menciptakan atmosfer Pemilu yang kondusif. Kepada masyarakat, diperlukan pemahaman bahwa pemilihan bukan ajang konflik, dan seremonial coblos mencoblos saja, melainkan kesempatan untuk memilih pemimpin yang dapat menggambarkan keberagaman dan mewakili kepentingan bersama bangsa Indonesia.
Di sisi lain, lembaga penyelenggara Pemilu memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses yang adil dan transparan. Reformasi dan peningkatan terus menerus dalam penyelenggaraan Pemilu perlu dilakukan untuk memastikan setiap suara dihargai dan diakui. Media massa juga memiliki andil besar dalam memberikan informasi yang obyektif dan merata, mempromosikan dialog yang sehat, dan mendorong partisipasi masyarakat.
Pemilu, sebagai proses yang terus berkembang, tidak hanya berfungsi sebagai sarana integrasi bangsa, tetapi juga sebagai jalan menuju terciptanya dunia baru di mana rakyat merdeka. Dalam siklus lima tahunan, Pemilu diharapkan dapat membentuk kekuasaan yang mampu menegakkan keadilan dan kebaikan bersama.Komitmen dari setiap pihak diperlukan agar semangat inklusivitas dan persatuan yang dibangun melalui Pemilu.
Kedewasaan demokrasi tidak hanya mencerminkan kedewasaan suatu bangsa, tetapi juga menjadi fondasi kokoh dalam menjaga keutuhan dan keberagaman Indonesia menuju masa depan yang lebih bersatu. Diperlukan komitmen dari setiap pihak untuk memelihara semangat inklusivitas dan persatuan yang dibangun melalui Pemilu. Tujuan utamanya tentu adalah mewujudkan masyarakat sejahtera tanpa penghisapan dan ketidakadilan.
Pentingnya Pemilu sebagai sarana integrasi juga tercermin dalam proses kampanye. Para calon tidak hanya berfokus pada kepentingan kelompok atau wilayah tertentu, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan yang bersifat inklusif dan mampu menyatukan beragam elemen masyarakat.
Dengan demikian, upaya menghadapi tantangan money politic, peran aktif semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun partai politik, sangat diperlukan. Saran dari penulis ialah mendukung penuh terhadap pendidikan politik dengan konsep upaya pre-emtif dan preventif melalui inisiatif Desa Anti-Politik Uang (APU) perlu diterima dari semua pihak, termasuk Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, penyelenggara pemilu, dan LSM. Tujuannya adalah untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan politik di masyarakat, menciptakan kesadaran nasional untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, dan menyebarkan semangat gerakan perlawanan ini ke desa-desa lainnya. Dengan langkah-langkah preventif dan perubahan paradigma, harapannya adalah kita dapat membangun sistem demokrasi yang lebih kuat, adil, dan responsif terhadap kepentingan rakyat.
Agung Maulidina
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UNISNU Jepara