Perjuangan KH. Syafiq Nashan dalam menuntut ilmu hingga Mendirikan Pesantren

Nasional, Religi438 Dilihat
banner 468x60

Kudus, Fokuspress.com  – KH. Syafiq Nashan merupakan putra dari mbah H. Nashan Amir dan Hj. Qudsiyyah lahir di Kudus 20 Agustus 1956. Beliau menempuh pendidikan pondok di Matholiul Falah Kajen, Pati milik mbah Abdullah Salam. Suatu ketika mbah Abdullah Salam meminta beliau untuk ikut menemani anaknya yaitu kyai minan ke makkah untuk melanjutkan menuntut ilmu tetapi beliau dilarang oleh bapak dan ibunya karena keterbatasan biaya.

Namun, setelah meyakinkan orang tuanya beliau akhirnya diizinkan. Dengan keterbatasan biaya yang ada, ayah beliau tetap berusaha mencarikan biaya bahkan ibunya juga ikut turut andil membantu dengan cara menjual perhiasannya akan tetapi biaya yang dikumpulkan hanya cukup untuk keberangkatannya saja dan mengharuskan beliau untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan hidupnya.

banner 336x280

“Jadi beliau di sana ya bekerja serabutan jadi tukang cuci piring, kondektur bis, tukang pemotong bawang juga sembari belajar dengan sayyid muhammad al Maliki.” Ucap H. M. Halibul Atthor saat ditemui di ponpes An-Nur, (15/03/2024).

Pada tahun 1985 beliau kembali ke kudus untuk menikah dengan Hj. Basyiroh putri dari mbah musyafa’ kemudian kembali lagi ke makkah dengan istrinya untuk melanjutkan studinya beliau. Tahun 1986-1988 Beliau memiliki 3 orang anak dan Beliau juga memutuskan untuk pulang ke Kudus.

“Setelah pulang ke Kudus beliau membuat majelis kecil”an karena abah sosok seorang ulama yang ahli dalam hadits sehingga masyarakat tertarik untuk ikut ngaji dengan beliau selain ahli dalam hadits beliau juga memang ada sanadnya karena beliau mengaji di makkah mulai dari muda hingga memiliki anak.” Ungkap menantu KH Syafiq Nashan.

Tahun 1990-1992 beliau memulai membangun pondok di kediamannya Jekulo, Kudus dan pada tahun 1993 pondok dengan nama An-Nur mulai beroperasi awal mula berdirinya pondok tersebut hanya menerima santri putra akan tetapi lambat laun semakin berkembang kemudian di bangun lah pondok putri di bagian selatan kediamannya.

“Pertama kali berdiri kita membuka untuk santri putra kemudian semakin berkembang akhirnya membuka pondokan untuk santri putri juga yang awalnya hanya 1-2 orang saja lama kelamaan bertambah sampai 40 an dan santri” kita terbanyak itu kurang lebih hampir 150an santri, ya mungkin kalau sekarang ada sekitar 70-80 an santri saja karena biasanya setelah pendirinya meninggal kan memang ada penurunan. Alhamdulillahnya sampai sekarang masih tetap ada santrinya dan masih beroperasi.” Imbuhnya (Iza)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *